Sabtu, 22 September 2007

Penghapusan Diskriminasi, Bukan Sekadar Barongsai dan Imlek

Atraksi Barongsai yang pada masa pemerintahan orde baru dipandang sangat tabu kini digelar dari tempat-tempat terbuka hingga hotel berbintang. Televisi swasta juga sudah menayangkan berita dalam bahasa mandarin. Iklan-iklan menyongsong Hari Raya Tahun Baru Imlek (24 Januari 2001) mulai menjamur di media massa, lengkap dengan huruf Cina. Upaya penetapan imlek menjadi Hari Raya Nasional juga sudah dilakukan.

Kebebasan yang dialami masyarakat Cina itu tidak terlepas dari kebijakan pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid. Presiden Abdurrahman Wahid telah mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) No 6/2000 yang mencabut Instruksi Presiden (Inpres) No 14/1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan adat istiadat Cina. Dengan Keppres No 6/2000 itu, warga keturunan Cina diperbolehkan menyelenggarakan kegiatan keagamaan, kepercayaan dan adat istiadat Cina tanpa harus meminta izin khusus.

Di balik fenomena eforia itu, tidak berarti penghapusan diskriminasi sudah terjadi. Perlakuan itu terasa kalau masyarakat keturunan Cina berhadapan dengan instansi pemerintah di lapangan untuk mengurus surat-surat penting, seperti akte kelahiran, akte perkawinan dan paspor. Pengurusan surat-surat semacam itu sebagian didasarkan juga pada produk perundang-undangan warisan Belanda.

Perlakuan diskriminatif tidak hanya merupakan akibat produk perundang-undangan yang diskriminatif, melainkan juga kultur diskriminatif yang tercipta dan diciptakan selama puluhan tahun. Oleh karena itu, kerangka normatif dan hukum tidak serta merta dapat menghapus perlakuan, seperti perlakuan aparat pemerintah terhadap masyarakat keturunan Cina saat mengururs surat-surat penting. Upaya penghapusan itu harus juga dilakukan secara kultural.

Menurut Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Ifdal Kasim, atraksi barongsai, termasuk merayakan Hari Raya Tahun Baru Imlek dengan lebih bebas daripada masa lalu, merupakan hal yang masih baru. Namun, lama kelamaan, hal itu mengubah pola pikir aparat pelaksana birokrasi di tingkat bawah. Dengan demikian, secara kultural, masyarakat dapat terbiasa dengan kebiasaan dan adat istiadat Cina yang selama ini ditabukan.


Sumber : KOMPAS senin, 22-01-2001, Halaman 18

Tidak ada komentar: