Selasa, 18 September 2007

Memberdayakan Jamu Tradisional

Memberdayakan Jamu Tradisional

(oleh Tasroh)

BELAKANGAN ini media memberitakan kasus jamu tradisional asal Banyumas yang diduga mengandung Bahan Kimia Obat (BKO). Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menemukan 500 kotak besar jamu dan ribuan kemasan jamu yang diduga mengandung BKO yang dilarang.

Jika mencermati, kasus kisruh jamu tradisional nyaris tiap tahun ditemukan pelanggaran. Sementara itu, perajin jamu kebingungan sekaligus mengeluh. Mereka mengeluh bagaimana harus berbuat di tengah kesulitan hidup. Berusaha dan mengembangkan potensi lokal Banyumas berupa jamu tradisional yang sudah turun-temurun dijalani ternyata susah, ruwet bahkan sering berakhir "sial" karena selalu saja berurusan dengan penegak hukum.

Disebut susah karena untuk mendirikan usaha di zaman krisis ini butuh kesabaran, ketabahan luar biasa. Tanpa itu maka usaha bisa mudah bubar. Dikatakan ruwet karena untuk sampai pada produksi jamu tradisional butuh berliku-liku izin usaha sampai thethek bengek birokrasi perdagangan lainnya yang menguras tenaga, waktu dan biaya. Disebut sial karena keliru sedikit pun masalah mudah membesar bahkan tak jarang selalu diteror, diancam hingga diberangus oleh berbagai pihak.

Mengikuti Prosedur

Saring, (35), pelaku "pelanggaran" sekaligus pembuat jamu BKO di Desa Dukuhwaluh, Kecamatan Kembaran, Banyumas yang kini terancam dijadikan tersangka karena meracik jamu tradisional berbahan kimia obat, mengaku telah mengikuti prosedur, bahkan selama ini usahanya juga diawasi oleh pemda setempat.

Belajar dari beberapa kasus serupa yang dialami oleh perajin jamu tradisional asal Cilacap beberapa waktu lalu, (tahun 2002-an), kini Dinas Perindustrian dan Perdagangan juga selalu mengawasi secara reguler. Tetapi ternyata semua itu tak berpengaruh apa pun terhadap masa depan usahanya. Lalu, dimana letak kekeliruan selama ini?

Pertanyaan "kebingungan" dari Saring, perajin jamu tradisional itu mewakili banyak pertanyaan sejenis dari para perajin jamu tradisional yang jumlahnya mencapai ratusan. Diperkirakan tak kurang dari 120 perajin jamu sedang beroperasi di Banyumas. Di Kabupaten Cilacap dan sekitarnya bahkan tak kurang dari 523 perajin jamu tradisional yang kini mampu mempekerjakan lebih dari 3000 tenaga kerja lokal.

Banyak pengaruh eksistensi usaha jamu tradisional di tingkat lokal itu. Tak hanya mampu menciptakan lapangan kerja, mengurangi pengangguran dan kemiskinan, tetapi juga terbukti mampu menopang pendapatan daerah setempat hingga membangkitkan sektor usaha kecil yang kini justru sedang didorong pemerintah pusat dan daerah untuk tumbuh-kembang secara progresif.

Dengan adanya kasus BKO dalam jamu tradisional tak hanya mengancam eksistensi usaha kecil perajin jamu tradisional di Banyumas, tetapi juga telah berimbas kepada citra jamu tradisional di daerah lain. Sayang klarifikasi kandungan BKO secara jelas dan komprehensif belum diumumkan aparat berwenang sehingga membingungkan perajin jamu lainnya bahkan mengancam eksistensi mereka di masa datang. Di sinilah perlunya keterlibatan pemda setempat untuk pro-aktif melakukan investigasi sehingga diperoleh penjelasan yang terang tentang BKO dalam jamu, sekaligus secara simultan terus melakukan pemberdayaan potensi lokal tersebut sehingga dapat berkembang sebagaimana mestinya.

Pendidikan dan pemahaman memproduksi jamu tradisional yang aman dan sehat dengan kebijaksanaan, kesabaran dan keadilan yang visioner dari pemerintah menjadi taruhan masa depan usaha kecil jamu tradisional di masa datang

Keterlibatan Pemda

Keterlibatan pemerintah daerah di era otonomi daerah dalam memberdayakan usaha jamu tradisional merupakan keniscayaan. Di tengah kesulitan ekonomi, minimnya warga yang berusaha untuk bangkit dari keterpurukan, maraknya pengangguran dan kemiskinan (yang di Banyumas konon 43% wargnya tergolong miskinóred), eksistensi usaha jamu tradisional lokal selama ini bagi warga sekitar menjadi oase di tengah kegersangan investasi dan perkembangan usaha kecil-menengah di wilayah Banyumas khususnya.

Untuk alasan tersebut, Sartono, pakar UKM dalam Usaha Kecil dan Kemakmuran Lokal (2004), menyarankan tiga keterlibatan total Pemda dalam menentukan maju-mundurnya usaha kecil di daerah. Pertama, meningkatkan kualitas dan kuantitas kebijakan, program dan kegiatan pemberdayaan usaha kecil. Pemberdayaan tentu tak hanya sekadar berkunjung an scih secara seremonial ketika pejabat daerah meresmikan berdirinya usaha kecil seperti selama ini terjadi, tetapi secara konsisten dan berkelanjutan mendisposisikan dinas dan petugas terkait untuk benar-benar menjalan tugas, peran dan fungsinya secara maksimal.

Diakui selama ini pemda setempat melalui dinas terkait telah melakukan "pemberdayaan", tetapi belum menyentuh kepada kebutuhan dasar pemberdayaan yang dimaksud oleh perajin jamu tradisional tersebut.

Seperti diungkapkan oleh Karlan (36), perajin jamu tradional asal Cilacap, bahwa keterlibatan berupa pemberdayaan kepada usaha kecil jamu tradisional masih setengah hati. Menurutnya, Dinas dan petugas yang telah ditunjuk biasanya terkesan tak serius mencermati, menganalisis dan mengevaluasi produk jamu tradisional ketika bertugas, sehingga hasil evaluasi dan analisis mutu produk sering terlupakan. (SM,30/8). Padahal semestinya tugas "mengawasi" mutu produk jamu harus sangat cermat dengan perangkat yang canggih sekaligus keterlibatan tenaga ahli jamu yang benar-benar mumpuni .

Karena pengawasan yang terkesan sekadar langak-longok ke dapur jamu secara sporadis, maka tak heran apabila mutu produk jamu selalu saja bermasalah. Kasus pelanggaran kandungan jamu tradisional yang terus berulang-ulang nyaris terjadi setiap Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan (BBPOM) dari Jakarta/Provinsi datang ke daerah, membuktikan bahwa peran dan fungsi pemberdayaan usaha kecil jamu tradisional selama ini masih setengah hati. Semestinya ketika hasil evaluasi dan pengawasan dari pemda telah dinyatakan "lulus", dengan bukti tak pernah ada masalah di kemudian hari; ketika diuji oleh BBPOM pun hasilnya sama. Tetapi mengapa produk yang sama konon dengan standar yang sama pula dapat menghasilkan simpulan berbeda? Di sinilah kebingungan para perajin jamu tradisional selama ini.

Kedua, memaksimalkan peran dan tugas komunikasi, koordinasi dan konsolidasi. Aneh, ketiga potensi lokal yang selama ini terbukti berjasa mengurangi pengangguran dan kemiskinan sekaligus meningkatkan PAD, justru ketika terjadi kasus semua lari dari tanggung jawab bahkan terkesan cuci tangan. Hal ini mencerminkan minimnya komunikasi, koordinasi dan konsolidasi antara pemerintah daerah melalui dinas terkait dengan pemerintah pusat dan propinsi melalui BBPOM.

Usaha jamu tradisional di Banyumas dan sekitarnya telah berjalan turun-temurun bahkan konon sudah eksis sejak zaman Jepang, tetapi mengapa selalu saja bermasalah di kemudian hari? Tentu disamping ada oknum yang mau mencari keuntungan diri dan kelompok, juga mencerminkan komunikasi dan koordinasi yang kurang maksimal diantara stakeholders yang terlibat . Padahal peran-peran komunikasi, koordinasi dan konsolidasi tersebut sangat bermanfaat bagi masa depan usaha jamu tradisional itu sendiri. Tak hanya dapat memperluas jangkauan pasar, penciptaan pasar baru dan peningkatan keuntungan baru, tetapi juga secara simultan dapat menggugah warga lain untuk berusaha mengembangkan potensi lokal demi kemajuan dan kemakmuran warga daerah itu pula.

Ketiga, fasilitasi pendanaan hingga regulasi progresif. Harus diakui bahwa jamu tradisional bisa eksis dan "dipercaya" oleh komunitas konsumen tertentu selama ini tidak terlepas dari kerja keras, motivasi dan dedikasi luar biasa dari sebagian kecil usahawan kecil lokal sendirian.

Dinas terkait terkesan sekadar menjadi penonton yang bersorak sorai ketika keuntungan usaha itu masuk ke kas daerah, tetapi ketika terjadi kasus, diam seribu bahasa seolah tak tahu-menahu bahkan dianggap sebagai urusan "pribadi". Padahal semestinya justru sebaliknya.

Usaha kecil yang memang sedang menjadi prioritas pemerintah (pusat) untuk dikembangkan, justru semestinya difasilitasi oleh pemerintah (daerah) baik berupa keringanan pinjaman bank yang selama ini sulit ditembus usaha kecil seperti jamu tradisional hingga fasilitasi regulasi yang bersifat progresif, yaitu regulasi pengembangan usaha kecil jamu tradisional agar dilindungi dan diberdayakan sebesar-besarnya demi kemakmuran rakyat.

Jika perlu, seperti terjadi di China, pemerintah setempat selalu memberikan berbagai kemudahan dalam berbagai bidang kepada usaha kecil jamu tradisional. Bahkan memasuki krisis obat-obatan modern dunia, China kini sedang mengembangkan "globalisasi produk jamu tradisionalnya" hingga memasuki pasar-pasar global di seluruh dunia.

Indonesia sudah banyak dimasuki produk jamu China sejak zaman Belanda (Sartono, 2004). Di tengah keterbatasan obat modern, WHO bahkan merekomendasikan agar bangsa-bangsa di dunia kembali ke alam termasuk dalam mengonsumsi jamu. Tentu jamu tradisional yang memenuhi standar kesehatan dunia.

Tempat

Sungguh tragis, ketika dunia sedang berjuang untuk memasyarakatkan jamu tradisional yang sehat, alamiah dan aman, justru jamu tradisional lokal kurang mendapat tempat. Padahal nenek moyang kita terbukti telah mewarisi kekayaan kesehatan yang berasal dari jamu tradisional hingga puluhan bahkan ratusan tahun lalu.

Sayang, jika potensi lokal itu pelan tetapi pasti ditinggalkan bahkan sering dicurigai sebagai produk "terlarang" karena mengandung bahan kimia obat yang tak dianjurkan. Karena itu, penegakkan hukum tetap dilakukan bagi para pelanggarnya, tetapi hendaknya tak mematikan motivasi, dedikasi dan kerja keras.

Pendidikan dan pemahaman memproduksi jamu tradisional yang aman dan sehat dengan kebijaksanaan, kesabaran dan keadilan yang visioner dari pemerintah menjadi taruhan masa depan usaha kecil jamu tradisional di masa datang. (11)

--- Tasroh, S.S, ketua Studi Pengawasan Kebijakan Publik Purwokerto, mahasiswa S2 Double Degree Beasiswa Bappenas (MIA Unibraw-Jepang).


(sumber: Suara Merdeka-wacana)

Tidak ada komentar: