Sabtu, 22 September 2007

“ASIMILASIONISME VS MULTIKULTURALISME”

Sumber : Kompas Rabu, 14-03-2001. Halaman: 30

Tragedi 1998 di Jakarta adalah bencana yang mungkin sulit dilupakan warga Indonesia keturunan Cina.
Peristiwa yang menyebabkan ratusan bahkan ribuan warga keturunan Cina meninggalkan Jakarta itu telah menjelaskan apa yang selama ini ditutup-tutupi di balik jargon “kehidupan yang harmonis” antar kelompok masyarakat.

Selama 32 tahun, pemerintahan
Orde Baru telah memperlakukan keberagaman suku, agama, kepercayaan, bahasa, dan etnis secara tidak netral. Keberagaman sering dicurigai sebagai salah satu faktor dominan yang mengancam stabilitas nasional. Potensi konflik SARA telah diperlakukan sebagai sesuatu yang tidak boleh kelihatan; ia disembunyikan ke dalam karpet tebal “Persatuan dan Kesatuan”.

Pemerintahan Orde Baru mempraktikan model pengelolaan masyarakat yang multi-etnik ini dengan pendekatan asililasionisme; bahkan terdapat kecenderungan “penyeragaman” pendekatan pemikiran yang disebut “bias asimilasi”. Bias ini tampak sekali dalam berbagai pendapat para tokoh ; juga mengemuka dalam diskusi, ketika menyoroti konflik antar-etnis Madura-Dayak di Sampit dan Palangkaraya.

Dan akhirnya Pemerintahan Orde Baru menjalankan model campuran pendekatan asimilasionisme dan diferensialisme kepada masyarakat etnis Cina. Namun secara umum, dua pendekatan yang cenderung rasialis dan (dengan sendirinya) bertentangan dengan
Hak Asasi Manusia (HAM) ini mewarnai berbagai kebijakan Negara Orde Baru dalam menghadapi persoalan masyarakat Indonesia yang multi-etnik ini.

Tidak ada komentar: