Sabtu, 22 September 2007

“PECINAN DAN SEJARAH KE-CINA-AN

Di tengah semaraknya perayaan Imlek, yang notabene diakui oleh Pemerintah RI sebagai hari raya nasional, tulisan ini hendak mengajak pembaca untuk menelaah Pecinan sebagai sebuah locus, warisan, dan dinamika budaya “asli” Cina di Indonesia.

Istilah “Pecinan” lebih merupakan kantung-kantung pendatang yang kosmopolit, telah memainkan peran sebagai pusat-pusat pertumbuhan dan rantai penting ekonomi bagi kerajaan-kerajaan Nusantara di era perdagangan maritime.

Klenteng-klenteng, karena peran sentralnya sebagai pusat komunitas masyarakat dan pelestarian budaya Cina, secara fisik dan ritual tampil konservatif sehingga mamu tampil sebagai ikon identitas Cina yang dilestarikan dan direproduksi hingga kini. Sebagai contoh, keberadaan “Kampoeng China” di Cibubur dan “Masjid HM Cheng Ho Indonesia” di Surabaya juga akhirnya turut menggambarkan citra ke-Cina-an dengan mengambil bahasa-bahasa arsitektural yang kerap kali muncul di brosur pariwisata, majalah, atau siaran televisi. Citra-citra sejenis, seperti Naga, barongsai, juga kerap ditampilkan pada era pasca Orde Baru, seakan-akan merupakan satu-satunya cara menggambarkan kiprah kebudayaan Cina di Nusantara ini.

Pecinan-pecinan sebenarnya merupakan saksi hidup sejarah yang masih menyimpan ritual, prosesi, dan mitos-mitos yang sebenarnya menggambarkan kekayaan khazanah budaya yang sedang digali lebih lanjut. Jika kita dapat melakukannya, tentu saja kita tidak lagi perlu mengimpor berbagai atribut ke-Cina-an buatan Singapura, Taiwan, atau Hongkong.

Kompas Minggu, 16-03-2003
oleh : Setiadi Sopandi

Tidak ada komentar: